Kenapa sih Nepal sepertinya jadi dream destination-nya para backpackers? Kalau ada acara tanya jawab dengan NTers, saya pun sering ditanya, “Pernah ke Nepal nggak, mbak?”. Kayaknya keren banget gitu kalau sudah pernah ke Nepal. Padahal terus terang saya ke Nepal nggak ada ekspektasi apa-apa selain penasaran kenapa negara itu begitu tersohor. Selain itu karena saya pengen beli bendera negara Nepal dimana satu-satunya di dunia yang tidak berbentuk persegi panjang melainkan segitiga. Hihi… nggak penting banget!
Begitu mendarat di Tribhuvan International Airport dan menyusuri jalan ibukota Kathmandu, saya langsung shock. Ya ampun, negara ini terbelakang sekali. Bandaranya kumuh.
Jalan rayanya meski beraspal namun kondisinya buruk. Bangunannya tidak ada yang modern, apalagi yang bertingkat tinggi. Mobil-mobilnya mini, tua dan reyot. Sampah dan debu beterbaran di mana-mana. Suara di jalanan sangat bising, mulai dari tukang jualan menjajakan barang, suara tape di toko, sampai klakson kendaraan yang melengking. Kondisi uang kertas Nepali Rupee pun jelek banget – bukan hanya lecek dan bau, tapi saking lusuhnya sampai tidak jelas gambar dan angkanya.
Di Thamel, pusat turis yang disejajarkan dengan Khaosan Road di Bangkok ternyata semrawut banget. Jalan aspal yang bolong-bolong tanpa selokan ini sempit, cuma muat ukuran satu setengah mobil. Becak, mobil, motor, orang, umplek-umplekan sehingga bikin macet dan susah jalan kaki. Sepanjang sisi jalan utamanya penuh dengan toko, hotel, travel agent, restoran, café, bar. Di balik jalan utama terdapat gang-gang kecil bak labirin yang juga dipenuhi bangunan komersial.
Banyak turis bule yang stuck di Thamel karena merupakan surga backpackers dimana segalanya ada dan murah. Buku Lonely Planet memperingatkan untuk memilih penginapan yang benar, karena kebanyakan kamarnya tak berjendela atau jendelanya berhimpitan dengan tembok bangunan lain sehingga gelap dan lembab. Untungnya saya menemukan hotel yang relatif baru. Meski ada di gang belakang tapi semua jendelanya menghadap ke taman dan tidak berisik.
Turis di Thamel ada dua jenis. Pertama, gaya hippies dengan baju tie-dyed, rok panjang atau celana nelayan, dan sendal jepit. Kedua, gaya ‘anak gunung’ dengan jaket Gore-Tex, celana kargo, dan sepatu trekking. Yang hippies ceritanya sedang mencari pencerahan spiritual (heran juga, kenapa di Nepal?). Namun sebagian besar turis ke Nepal adalah untuk trekking ke pegunungan Himalaya, terutama di jalur trek
Andapurna yang terpopuler. Saya ngobrol dengan para traveler bule, ternyata mereka rata-rata trekking selama 2 minggu dengan membayar tur seharga ribuan dolar. Aww! Tentu saja saya yang pemalas ini ogah trekking model hard core begitu. Pilihan lainnya yang populer adalah naik gajah di taman nasional Chitwan. Yaah, tipikal bule banget. Males ah. Maka dengan waktu dan dana yang terbatas, pilihan saya adalah wisata budaya.
Situs-situs budaya sebagian besar ada di Kathmandu Valley, antara lain kompleks Durbar Square, Swayambhunath, dan Patan. Hebatnya, dengan area yang hampir seluas Singapura, ada tujuh situs yang masuk ke dalam UNESCO Heritage List. Situs-situsnya memang bagus dan menarik, tapi ampun deh joroknya. Padahal itu adalah tempat pemujaan agama, bangunan suci. Namun sampah di mana-mana, pengemis asik tidur-tiduran, plus bau pesing yang menyengat. Bahkan tukang jualan suvenir cuek menaruh barang jualannya di tembok candi.
Belum lagi sapi, anjing, burung yang bebas berkeliaran sehingga kotorannya nemplok di mana-mana. Sayang sekali situs-situs itu tidak dipagar dan kurang dipelihara dengan benar. Saya membaca koran berbahasa Inggris di Nepal , bahwa mereka sendiri sedang mengalami krisis identitas bangsa. Mengaku berbudaya unik dan beragama, tapi tidak menjadikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Koran itu membandingkan Nepal dengan Bali yang arsitekturnya khas dan penduduk yang tetap mempraktikan agama Hindu, bahkan memiliki tempat pemujaan pribadi di rumahnya. Belakangan saya jadi maklum mengapa Nepal begitu. Berdasarkan daftar GDP per Capita dari IMF tahun 2008, Nepal adalah negara termiskin di Asia.
Kelebihan Nepal adalah orang-orangnya. Mereka ramah, bersahabat, banyak senyum, dan servis yang baik. Yang okenya lagi, mereka rata-rata bisa berbahasa Inggris sehingga komunikasinya mudah. Setiap malam saya lebih senang menghabiskan waktu dengan mengobrol di taman bersama karyawan hotel yang lucu-lucu. Malah saya ditraktir bir lokal kebanggaan negara bermerk ‘Everest’ yang gambarnya Tenzing Norgay (salah satu orang pertama yang mencapai puncak Everest bersama Edmund Hillary). Yang menakjubkan, meski keadaan negaranya miris namun sangat fotogenik. Apapun yang difoto, pasti kelihatan lebih indah daripada aslinya!
Bosan dengan ratusan candi, saya pun ke luar kota. Tepatnya ke Nagarkot dengan ketinggian 2099 meter dpl. Barulah saya merasakan keindahan negara ini. Meski jalannya juga bobrok, tapi hamparan sawah ladang dan rumah-rumah tembok bertingkat dua yang dicat warna-warni sungguh menyegarkan mata. Dari puncak Observatory Tower, pemandangannya sungguh spektakuler. Sawah menguning, hutan hijau, pegunungan tinggi yang berlapis-lapis berwarna gradasi biru… dan tiba-tiba di belakangnya terpampang pegunungan salju Himalaya! Saya baru sadar bahwa Nepal (mungkin) memang indah banget jika kita mau (berlelah-lelah) trekking di pegunungan.
KLIK UNTUK MEMPERBESAR
KLIK UNTUK MEMPERBESAR
NPL 270 H
NPL 2106 HN
NPL 2104 HN
NPL 2109 HN
NPL 420 H
NPL 539 H
NPL 302 H
NPL 408 H
NPL 233 H
NPL 2118 HN NPL 2105 HN
NPL 2112 HN
NPL 022 H
NPL 161 H
NPL 2119 HN
NPL 321 H
NPL 406 H
NPL 2115 HN
NPL 211 H
NPL 2107 HN
NPL 2114 HN
NPL 2120 HN NPL 2111 HN
NPL 2121 HN NPL 2127 HN NPL 2123 HN NPL 2126 HN
NPL 2124 HN NPL 2122 HN NPL 2110 HN NPL 2125 HN
source: http://naked-traveler.com/2010/01/23/nepal-biar-miris-tapi-fotogenik/