VIVAnews - Menyembuhkan pasien dari sakit, sekaligus membuatnya kembali sehat, merupakan tugas seorang dokter. Namun, tabib di Inggris berikut ini justru membuat pasien-pasiennya tewas.
Selama berpraktik, dokter bernama Howard Martin itu sudah "membunuh" hampir 20 pasien - termasuk putra kandungnya. Mendengar pengakuan mengejutkan itu, pihak berwenang Inggris akhir pekan lalu mengatakan akan membawa Martin ke meja hijau untuk diadili.
Dokter yang kini berusia 75 tahun itu sebelumnya juga pernah diadili pada 2005 atas tuduhan membunuh tiga pasiennya dengan suntikan pembunuh rasa sakit yang melebihi dosis. Namun, oleh hakim sidang pengadilan saat itu, Martin dinyatakan tidak bersalah.
Kendati lolos dari hukuman penjara, izin praktik dokter Martin sejak saat itu dicabut. Kini, dia membuat pengakuan dramatis kepada media massa sehingga polisi dan pihak kejaksaan kembali memperkarakan pria sepuh itu.
Pengakuan Martin, yang direkam melalui kamera video, dimuat olah harian Inggris, Daily Telegraph, Sabtu 19 Juni 2010. Dalam pengakuannya, Martin justru merasa tidak menyesal karena dia merasa telah berbuat seperti ajaran suatu agama yang dia anut, yaitu mengakhiri penderitaan pasien-pasiennya yang, menurut pengakuannya, sudah tak tahan dengan sakit yang mereka idap.
"Nurani saya jelas, tidak ada yang saya takutkan," kata Martin, dalam wawancara yang berlangsung di rumahnya. Martin mengaku terpaksa menghabisi nyawa putranya yang mengidap kanker, Paul, pada Mei 1998.
"Apa lagi yang bisa saya buat bagi dia selain memastikan bahwa dia punya harga diri?" tutur Martin.
Martin tidak serta-merta mengatakan bahwa dia adalah seorang pembunuh, melainkan hanya mempercepat proses menuju mati bagi putranya dan pasien-pasien penyakit akut lain yang dia rawat.
Namun, Dewan Medis Umum Inggris (GMC) tidak sependapat dengan klaim Martin. Perbuatan Martin itu dinilai "sepenuhnya tidak bisa diterima." Menurut GMC, dalam sejumlah kasus, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa korban menderita penyakit yang tidak mungkin disembuhkan.
Hampir semua dari 18 pasien yang disuntik mati oleh Martin hanya punya harapan hidup beberapa hari. Namun, menurut penyelidikan DMC, ada seorang pasien berusia 74 tahun bernama Harry Gittins, yang seharusnya bisa disembuhkan dari kanker kerongkongan. Namun, Martin malah menyuntik Gittins dengan 200 miligram diamorphine sehari sebelum dia tewas.
Martin lalu berbohong kepada keluarga almarhum dengan mengatakan bahwa kanker yang diderita Gittins telah menyebar dan sukar disembuhkan.
Gara-gara kasus Gittins, Martin lalu diadukan ke pengadilan. Saat itu, Martin juga didakwa membunuh dua pasien lain, Frank Moss (59) dan Stanley Weldon (74). Namun, berdasarkan putusan hakim 2005, Martin divonis bebas.
Kini, setelah pengakuan kepada media massa, perbuatan Martin akan kembali diusut. Itu juga yang menjadi harapan bagi putra Gittins.
Di Inggris, pengadilan bisa kembali menyidangkan seseorang yang telah divonis atas kasus yang sama. Ini berkat reformasi hukum Inggris pada 2005, yang menghapuskan asas "double jeopardy" - yaitu prinsip yang mencegah seseorang kembali diadili atas pelanggaran hukum yang sama.
Dengan demikian, terpidana bisa kembali diadili atas kejahatan yang sama bila ditemukan adanya bukti yang "baru dan meyakinkan." Martin pun akan merasakan reformasi hukum itu.
Selama berpraktik, dokter bernama Howard Martin itu sudah "membunuh" hampir 20 pasien - termasuk putra kandungnya. Mendengar pengakuan mengejutkan itu, pihak berwenang Inggris akhir pekan lalu mengatakan akan membawa Martin ke meja hijau untuk diadili.
Dokter yang kini berusia 75 tahun itu sebelumnya juga pernah diadili pada 2005 atas tuduhan membunuh tiga pasiennya dengan suntikan pembunuh rasa sakit yang melebihi dosis. Namun, oleh hakim sidang pengadilan saat itu, Martin dinyatakan tidak bersalah.
Kendati lolos dari hukuman penjara, izin praktik dokter Martin sejak saat itu dicabut. Kini, dia membuat pengakuan dramatis kepada media massa sehingga polisi dan pihak kejaksaan kembali memperkarakan pria sepuh itu.
Pengakuan Martin, yang direkam melalui kamera video, dimuat olah harian Inggris, Daily Telegraph, Sabtu 19 Juni 2010. Dalam pengakuannya, Martin justru merasa tidak menyesal karena dia merasa telah berbuat seperti ajaran suatu agama yang dia anut, yaitu mengakhiri penderitaan pasien-pasiennya yang, menurut pengakuannya, sudah tak tahan dengan sakit yang mereka idap.
"Nurani saya jelas, tidak ada yang saya takutkan," kata Martin, dalam wawancara yang berlangsung di rumahnya. Martin mengaku terpaksa menghabisi nyawa putranya yang mengidap kanker, Paul, pada Mei 1998.
"Apa lagi yang bisa saya buat bagi dia selain memastikan bahwa dia punya harga diri?" tutur Martin.
Martin tidak serta-merta mengatakan bahwa dia adalah seorang pembunuh, melainkan hanya mempercepat proses menuju mati bagi putranya dan pasien-pasien penyakit akut lain yang dia rawat.
Namun, Dewan Medis Umum Inggris (GMC) tidak sependapat dengan klaim Martin. Perbuatan Martin itu dinilai "sepenuhnya tidak bisa diterima." Menurut GMC, dalam sejumlah kasus, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa korban menderita penyakit yang tidak mungkin disembuhkan.
Hampir semua dari 18 pasien yang disuntik mati oleh Martin hanya punya harapan hidup beberapa hari. Namun, menurut penyelidikan DMC, ada seorang pasien berusia 74 tahun bernama Harry Gittins, yang seharusnya bisa disembuhkan dari kanker kerongkongan. Namun, Martin malah menyuntik Gittins dengan 200 miligram diamorphine sehari sebelum dia tewas.
Martin lalu berbohong kepada keluarga almarhum dengan mengatakan bahwa kanker yang diderita Gittins telah menyebar dan sukar disembuhkan.
Gara-gara kasus Gittins, Martin lalu diadukan ke pengadilan. Saat itu, Martin juga didakwa membunuh dua pasien lain, Frank Moss (59) dan Stanley Weldon (74). Namun, berdasarkan putusan hakim 2005, Martin divonis bebas.
Kini, setelah pengakuan kepada media massa, perbuatan Martin akan kembali diusut. Itu juga yang menjadi harapan bagi putra Gittins.
Di Inggris, pengadilan bisa kembali menyidangkan seseorang yang telah divonis atas kasus yang sama. Ini berkat reformasi hukum Inggris pada 2005, yang menghapuskan asas "double jeopardy" - yaitu prinsip yang mencegah seseorang kembali diadili atas pelanggaran hukum yang sama.
Dengan demikian, terpidana bisa kembali diadili atas kejahatan yang sama bila ditemukan adanya bukti yang "baru dan meyakinkan." Martin pun akan merasakan reformasi hukum itu.
source: vivanews.com